728x90 AdSpace

Latest News

Rabu, 16 November 2011

Peran Akhlak dalam Kemajuan Pendidikan


Ibnu khaldun dalam buku Muqaddimah membahas tentang filsafat sejarah dan soal-soal prinsip mengenai jatuh bangunnya negara dan bangsa-bangsa. Jatuh bangunnya sebuah negara ditentukan oleh sikap manusia yang ada di dalamnya, itulah faktor akhlak.  Negara yang bertahan ialah negara yang ‘baik’ didalam segala urusan kenegaraannya. Sebuah negara yang disukai rakyatnya sudah pasti akan dipertahankan dari keambrukan lantaran putaran perjalanan sejarah bangsa manusia. Peradaban maju karena faktor akhlak dan runtuh karena rusaknya akhlak.

Pemikiran Ibnu Khaldun ternyata dikemudian hari diperkuat oleh ahli dari Universitas Harvard bahwa ‘Sikap mental dan karakter sebuah bangsalah yang menentukan kemajuan dan kemundurannya’ (Culture Matters, Harvard University). Begitupun dalam ranah dunia pendidikan. Kemajuan pendidikan di institusi manapun tergantung peran budi pekerti, moral perilaku, dan akhlak.

Semangat Belajar

Ada banyak pepatah di beberapa negara yang berhubungan tentang kesungguhan, seperti Siapa Menanam Dia Akan Menuai (pepatah Melayu), You Reap What You Saw (pepatah Inggris), atau Man Jadda Wa Jadda (pepatah Arab). Setiap orang akan mendapatkan apa yang diusahakan dengan sepenuh kesungguhan. Suatu waktu kita mendapatkan hasil yang tidak kita inginkan, bisa jadi salah satu penyebabnya adalah kurangnya kesungguhan dalam meraihnya.

Beberapa kampus ternama dalam negeri seperti UGM, ITB, UI memperlihatkan keseriusan belajar mahasiswanya. Perpustakaan kampus buka hingga malam, dan para mahasiswa juga dengan serius belajar disana, kadang membawa makanan dan minuman sebagai bekal. Wajar kiranya mendapat peringkat terbaik nasional bahkan posisi ratusan dalam universitas terbaik dunia.

Sungguhpun demikian, durasi belajar mahasiswa di TU Delft Belanda ternyata lebih panjang dari UGM. Mereka bahkan bisa belajar serius di kampusnya dari pagi hingga jam 12 malam (waktu tutup pustaka/kampus). Semua ruangan pustaka senyap, bahkan pena jatuhpun terdengar. Tak ada berisik walaupun di dalam pustaka ada ratusan mahasiswa yang sedang belajar. Maka universitas ini menempati ranking universitas terbaik puluhan di dunia.

Jika demikian maka Universitas kelas papan atas dunia, macam Harvard University atau Massachusetts Insitute of Technology tentu memiliki durasi belajar yang juga menggila. Sebutan workaholic diidentikkan pada bangsa Jepang karena gila kerja masyarakatnya, maka study-holic pantas pula disebutkan pada civitas penggila belajar di atas.

Bekerja keras adalah sebuah akhlak, sementara malas-malasan adalah dosa yang disingkirkan dengan memotivasi diri serta doa harian. Untuk memotivasi bisa dilakukan dengan memasang target harian, target bulanan, semesteran, tahunan dan juga membiasakan diri berada dalam sistem dan lingkungan yang kondusif dan kompetitif.  Siapa yang bersungguh-sungguh dia yang mendapat, dan siapa yang menanam dia kan menuai. Itulah sunnatullah (hukum Allah yang berlaku di alam, atau biasa disingkat hukum alam).

Penjagaan integritas kejujuran

Di Jerman amat sulit ditemukan perilaku ketidakjujuran akademis. Tesis, disertasi, atau skripsi yang merupakan plagiasi atau manipulasi jarang dijumpai. Mencontek adalah ketidakjujuran akademis yang diganjar dengan hukuman yang amat keras, yakni bukan hanya tidak lulus, tetapi juga dikeluarkan. Semua aturan terkait kejujuran itu sudah tercantum dalam apa yang namanya Studienordnung.

Terlihat Jerman tidak hanya menghargai kejujuran, bahkan menempatkannya sebagai spirit pendidikan. Ketika membuat skripsi, mahasiswa tidak bisa begitu saja meng-copas (copy dan paste).  Bila kedapatan melakukan copas jangan dikira bisa lolos mudah. Maka, dalam skripsi atau karya tulis pun semua harus jelas. Bila ditemukan ada paragraf yang mirip dalam karya  ilmiah,  si mahasiswa bisa dikeluarkan. Untuk bisa lulus, di Jerman memerlukan perjuangan yang amat keras. Ya, disana untuk bisa lulus penuh keringat dan air mata.

Jadi di negara yang dikatakan orang maju, seperti Eropa, Amerika, Australia, dan lainnya sangat ditekankan ‘dilarang menyontek’ dalam ujian. Siapa yang kedapatan menyontek, maka ia akan dikeluarkan dari sekolah/kampus. Tapi hasilnya adalah adanya budaya jujur yang terbentuk selama mereka mengalami proses pendidikan, dan menjadi lulusan yang memiliki rasa percaya diri.

Kejujuran yang mendorong persaingan yang sehat dan berkorelasi dengan prestasi bisa disimak pula dari Diniyah Putri Padang Panjang. Sekolah ini tergolong unik dalam penerapan sangsi terhadap siswa yang tidak jujur. Bagi siswa yang kedapatan mencontek dan sejenisnya, hukuman tak main-main: pecat di tempat!
Apakah sanksi itu tidak manusiawi atau akan menurunkan prestasi sekolah? Takutkah Diniyah Putri dengan nilai yang rendah sementara sekolah lain tinggi semua? Ternyata tidak, sanksi yang keras ternyata sangat berdampak positif. Setelah sekolah ini menerapkan pecat di tempat bagi santri yang ketahuan mencontek dalam lima tahun terakhir, pencapaian nilai santri naik hampir dua kali lipat. Tahun ini dua orang santri mampu meraih peringkat pencapai nilai UN tertinggi di Sumatra Barat!

Sungguhpun sanksi terhadap ketidakjujuran berat, tapi buahnya manis, baik untuk skala mikro atau makro. Bagi individu jelas dia akan mempunyai kapasitas ketika telah lulus, bagi universitas akan meningkatkan gradenya, dan bagi negara akan ada stok pengelola negara yang akan bersih dalam menjalankan pengelolaan negara kelak, yang jauh dari korupsi yang dikelola oleh orang yang tak biasa untuk tidak jujur. Riset akademik dari Harvard University diatas menemukan relevansinya bahwa negara-negara yang tergolong miskin di dunia ini berkorelasi dengan tingginya korupsi di negara itu. Korupsi lagi-lagi adalah bentuk ketidakjujuran, dan ketidakjujuran adalah akhlak yang tercela.

Akhlak Kejujuran dalam Pendidikan.

Kantin kejujuran telah banyak dibangun di beberapa sekolah di Sumatera Barat. Seorang Guru Besar UPI Bandung, Prof. DR. Buchari Alma berkenan untuk mengomentari usaha mulia dari pemerintah daerah di Sumatera Barat dalam melaksanakan Pendidikan Antikorupsi di Padang yang ternyata dikabarkan belum berjalan maksimal. Prof. DR. Buchari Alma memberikan perspektif yang lebih tegas tentang urgensi akhlak kejujuran dalam pendidikan nasional kita.

Menyangkut budaya nyontek yang parah di sekolah (hingga juga mahasiswa S1, S2, S3), ia tegaskan akan berakibat memunculkan perilaku atau watak tidak percaya diri, tidak disiplin, tidak bertanggung jawab, tidak mau membaca buku pelajaran tapi rajin membuat catatan kecil-kecil untuk bahan nyontek, potong kompas, menghalalkan segala macam cara, dan akhirnya menjadi koruptor.

Pengaruh dari pelaksanaan ujian bersih dari menyontek seperti ini ialah siswa akan belajar giat, guru akan mengajar lebih serius, anak-anak akan rajin membaca, kegiatan siswa akan fokus pada pelajaran, bukan pacaran, tawuran, mencuri, kenakalan remaja, bermain-main, tapi siswa mulai disiplin dan bertanggung jawab, dan orang tua tidak lagi mencampuri urusan pendidikan. Perilaku jujur akan menjadi budaya nasional kita khususnya budaya jujur dalam dunia pendidikan, dimana ada proses ujian yang mendidik lulusan menjadi orang jujur, tidak korup, memiliki budaya malu, disiplin, bertanggung jawab, percaya diri, dan rajin membaca.
Maka kurikulum dengan akhlak kejujuran dalam pendidikan ada baiknya ditekankan sekali, disamping kita berbicara tentang pelik peningkatan kualitas pembelajaran, apakah yang namanya Cara Belajar Siswa Aktif, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), sistim asesmen, dan seterusnya. Mari kita sebut dengan juga dengan KBK (Kurikulum Berbasis Kejujuran).

Tulisan diambil dari : http://enewsletterdisdik.wordpress.com tahun 2011
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Item Reviewed: Peran Akhlak dalam Kemajuan Pendidikan Description: Rating: 5 Reviewed By: WIDI
Scroll to Top