Ibnu khaldun dalam buku Muqaddimah membahas tentang filsafat sejarah
dan soal-soal prinsip mengenai jatuh bangunnya negara dan bangsa-bangsa.
Jatuh bangunnya sebuah negara ditentukan oleh sikap manusia yang ada di
dalamnya, itulah faktor akhlak. Negara yang bertahan ialah negara yang
‘baik’ didalam segala urusan kenegaraannya. Sebuah negara yang disukai
rakyatnya sudah pasti akan dipertahankan dari keambrukan lantaran
putaran perjalanan sejarah bangsa manusia. Peradaban maju karena faktor
akhlak dan runtuh karena rusaknya akhlak.
Pemikiran Ibnu Khaldun ternyata
dikemudian hari diperkuat oleh ahli dari Universitas Harvard bahwa
‘Sikap mental dan karakter sebuah bangsalah yang menentukan kemajuan dan
kemundurannya’ (Culture Matters, Harvard University).
Begitupun dalam ranah dunia pendidikan. Kemajuan pendidikan di institusi
manapun tergantung peran budi pekerti, moral perilaku, dan akhlak.
Semangat Belajar
Ada banyak pepatah di beberapa negara yang berhubungan tentang kesungguhan, seperti Siapa Menanam Dia Akan Menuai (pepatah Melayu), You Reap What You Saw (pepatah Inggris), atau Man Jadda Wa Jadda (pepatah
Arab). Setiap orang akan mendapatkan apa yang diusahakan dengan sepenuh
kesungguhan. Suatu waktu kita mendapatkan hasil yang tidak kita
inginkan, bisa jadi salah satu penyebabnya adalah kurangnya kesungguhan
dalam meraihnya.
Beberapa kampus ternama dalam negeri seperti UGM, ITB, UI
memperlihatkan keseriusan belajar mahasiswanya. Perpustakaan kampus buka
hingga malam, dan para mahasiswa juga dengan serius belajar disana,
kadang membawa makanan dan minuman sebagai bekal. Wajar kiranya mendapat
peringkat terbaik nasional bahkan posisi ratusan dalam universitas
terbaik dunia.
Sungguhpun demikian, durasi belajar mahasiswa di TU Delft
Belanda ternyata lebih panjang dari UGM. Mereka bahkan bisa belajar
serius di kampusnya dari pagi hingga jam 12 malam (waktu tutup
pustaka/kampus). Semua ruangan pustaka senyap, bahkan pena jatuhpun
terdengar. Tak ada berisik walaupun di dalam pustaka ada ratusan
mahasiswa yang sedang belajar. Maka universitas ini menempati ranking
universitas terbaik puluhan di dunia.
Jika demikian maka Universitas kelas papan atas dunia, macam Harvard
University atau Massachusetts Insitute of Technology tentu memiliki
durasi belajar yang juga menggila. Sebutan workaholic diidentikkan pada bangsa Jepang karena gila kerja masyarakatnya, maka study-holic pantas pula disebutkan pada civitas penggila belajar di atas.
Bekerja keras adalah sebuah akhlak, sementara malas-malasan adalah
dosa yang disingkirkan dengan memotivasi diri serta doa harian. Untuk
memotivasi bisa dilakukan dengan memasang target harian, target bulanan,
semesteran, tahunan dan juga membiasakan diri berada dalam sistem dan
lingkungan yang kondusif dan kompetitif. Siapa yang bersungguh-sungguh
dia yang mendapat, dan siapa yang menanam dia kan menuai. Itulah sunnatullah (hukum Allah yang berlaku di alam, atau biasa disingkat hukum alam).
Penjagaan integritas kejujuran
Di Jerman amat sulit ditemukan perilaku ketidakjujuran akademis.
Tesis, disertasi, atau skripsi yang merupakan plagiasi atau manipulasi
jarang dijumpai. Mencontek adalah ketidakjujuran akademis yang diganjar
dengan hukuman yang amat keras, yakni bukan hanya tidak lulus, tetapi
juga dikeluarkan. Semua aturan terkait kejujuran itu sudah tercantum
dalam apa yang namanya Studienordnung.
Terlihat Jerman tidak hanya menghargai kejujuran, bahkan
menempatkannya sebagai spirit pendidikan. Ketika membuat skripsi,
mahasiswa tidak bisa begitu saja meng-copas (copy dan paste). Bila kedapatan melakukan copas
jangan dikira bisa lolos mudah. Maka, dalam skripsi atau karya tulis
pun semua harus jelas. Bila ditemukan ada paragraf yang mirip dalam
karya ilmiah, si mahasiswa bisa dikeluarkan. Untuk bisa lulus, di
Jerman memerlukan perjuangan yang amat keras. Ya, disana untuk bisa
lulus penuh keringat dan air mata.
Jadi di negara yang dikatakan orang maju, seperti Eropa, Amerika,
Australia, dan lainnya sangat ditekankan ‘dilarang menyontek’ dalam
ujian. Siapa yang kedapatan menyontek, maka ia akan dikeluarkan dari
sekolah/kampus. Tapi hasilnya adalah adanya budaya jujur yang terbentuk
selama mereka mengalami proses pendidikan, dan menjadi lulusan yang
memiliki rasa percaya diri.
Kejujuran yang mendorong persaingan yang sehat dan berkorelasi dengan
prestasi bisa disimak pula dari Diniyah Putri Padang Panjang. Sekolah
ini tergolong unik dalam penerapan sangsi terhadap siswa yang tidak
jujur. Bagi siswa yang kedapatan mencontek dan sejenisnya, hukuman tak
main-main: pecat di tempat!
Apakah sanksi itu tidak manusiawi atau akan menurunkan prestasi
sekolah? Takutkah Diniyah Putri dengan nilai yang rendah sementara
sekolah lain tinggi semua? Ternyata tidak, sanksi yang keras ternyata
sangat berdampak positif. Setelah sekolah ini menerapkan pecat di tempat
bagi santri yang ketahuan mencontek dalam lima tahun terakhir,
pencapaian nilai santri naik hampir dua kali lipat. Tahun ini dua orang
santri mampu meraih peringkat pencapai nilai UN tertinggi di Sumatra
Barat!
Sungguhpun sanksi terhadap ketidakjujuran berat, tapi buahnya manis,
baik untuk skala mikro atau makro. Bagi individu jelas dia akan
mempunyai kapasitas ketika telah lulus, bagi universitas akan
meningkatkan gradenya, dan bagi negara akan ada stok pengelola
negara yang akan bersih dalam menjalankan pengelolaan negara kelak, yang
jauh dari korupsi yang dikelola oleh orang yang tak biasa untuk tidak
jujur. Riset akademik dari Harvard University diatas menemukan
relevansinya bahwa negara-negara yang tergolong miskin di dunia ini
berkorelasi dengan tingginya korupsi di negara itu. Korupsi lagi-lagi
adalah bentuk ketidakjujuran, dan ketidakjujuran adalah akhlak yang
tercela.
Akhlak Kejujuran dalam Pendidikan.
Kantin kejujuran telah banyak dibangun di beberapa sekolah di
Sumatera Barat. Seorang Guru Besar UPI Bandung, Prof. DR. Buchari Alma
berkenan untuk mengomentari usaha mulia dari pemerintah daerah di
Sumatera Barat dalam melaksanakan Pendidikan Antikorupsi di Padang yang
ternyata dikabarkan belum berjalan maksimal. Prof. DR. Buchari Alma
memberikan perspektif yang lebih tegas tentang urgensi akhlak kejujuran
dalam pendidikan nasional kita.
Menyangkut budaya nyontek yang parah di sekolah (hingga juga
mahasiswa S1, S2, S3), ia tegaskan akan berakibat memunculkan perilaku
atau watak tidak percaya diri, tidak disiplin, tidak bertanggung jawab,
tidak mau membaca buku pelajaran tapi rajin membuat catatan kecil-kecil
untuk bahan nyontek, potong kompas, menghalalkan segala macam cara, dan akhirnya menjadi koruptor.
Pengaruh dari pelaksanaan ujian bersih dari menyontek seperti ini
ialah siswa akan belajar giat, guru akan mengajar lebih serius,
anak-anak akan rajin membaca, kegiatan siswa akan fokus pada pelajaran,
bukan pacaran, tawuran, mencuri, kenakalan remaja, bermain-main, tapi
siswa mulai disiplin dan bertanggung jawab, dan orang tua tidak lagi
mencampuri urusan pendidikan. Perilaku jujur akan menjadi budaya
nasional kita khususnya budaya jujur dalam dunia pendidikan, dimana ada
proses ujian yang mendidik lulusan menjadi orang jujur, tidak
korup, memiliki budaya malu, disiplin, bertanggung jawab, percaya diri,
dan rajin membaca.
Maka kurikulum dengan akhlak kejujuran dalam pendidikan ada baiknya
ditekankan sekali, disamping kita berbicara tentang pelik peningkatan
kualitas pembelajaran, apakah yang namanya Cara Belajar Siswa Aktif,
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK), sistim asesmen, dan seterusnya. Mari kita sebut dengan
juga dengan KBK (Kurikulum Berbasis Kejujuran).
Tulisan diambil dari : http://enewsletterdisdik.wordpress.com tahun 2011
0 comments:
Posting Komentar